Monday, April 5, 2010

Hati

Kata 'hati' dinisbahkan kepada hati (sebagai benda) inderawi yang bertempat di dalam dada; sedangkan Allah menisbahkan kata 'hati' kepada hati dalam makna berbeda yang juga terdapat di dalam dada, yang erat kaitannya dengan hati inderawi (bendawi). Hati dalam pengertian yang berbeda itu adalah tempat iman dan kekufuran. Para penyair dan pujangga membicarakan masalah hati sebagai tempat rasa: baik itu rasa cinta atau rasa benci. Tidak syak lagi bahwa terdapat kaitan pengertian antara hati menurut pengertian penyair dan pujangga dengan hati sebagai tempat dari kekufuran, kemunafikan, dan iman. Sebagaimana akan kita saksikan nanti bahwa hati bendawi merupakan satu hal dan hati dalam pengertian yang terakhir adalah hal lain.
Tidakkah Anda saksikan mereka yang berupaya mengubah hati bendawi menjadi hati yang hidup tidak menghasilkan apa apa, yang berupa rasa dan perasaan? Bila Anda memahami makna ini, Anda pasti tahu perbedaan antara hati menurut terminologi Allah dan hati menurut terminologi manusia. Kerancuan pengertian dalam masalah ini akan mengakibatkan kesalahan yang tidak sedikit.
Kerancuan ini tidak saja terjangkit pada masalah pengertian hati, tapi juga pada pengertian tentang ruh, jiwa, dan akal. Tentunya kerancuan-¬kerancuan itu menyebabkan keracuan keracuan lain yang berkaitan dengan masalah akidah. Itulah sebabnya para ulama menganggap pembicaraan tentang hati, ruh, jiwa dan akal sebagai salah satu objek dari ilmu akidah (teologi); dan termasuk salah satu objek dari studi ilmu tasawuf, bahkan ia merupakan pusat terpenting dari disiplin ilmu ini. Para ulama membahasnya dalam ilmu akidah, karena dalam masalah masalah itu terdapat segi segi yang gaib (metafisik). Dan rincian persoalan tentang masalah masalah yang gaib hanya ada pada Allah, sebab hanya Dia lah yang membicarakan hal itu pada kita; maka posisi (sikap) kita dalam persoalan semacam ini adalah yakin dan menerima (pasrah). Sungguhpun demikian, persoalan persoalan gaib tersebut memiliki sisi atau segi segi inderawi dan perniliknya dapat merasakannya, sebagaimana orang lain dapat merasakan pengaruhnya juga. Oleh sebab itu, maka masalah ini dari satu sisi termasuk hal gaib (metafisik), tetapi di sisi lain termasuk hal yang konkret (fisik). Pengalaman dan perasaan manusia berpengaruh besar dalam mengetahui persoalan ini, sebab topik ini saling kait mengait. Di dalamnya terjadi saling keterkaitan antara masalah masalah akidah, tasawuf, unsur ilmu pengetahuan (sains) dan pengalaman (empiris). Maka tidak heran kalau satu kalangan mempunyai persepsi yang berbeda dengan kalangan kalangan lain tentang masalah ini.
Yang mampu meletakkan persoalan persoalan seperti tersebut di atas pada porsi yang sebenarnya hanyalah seorang Muslim yang berwa¬wasan luas, karena dia mendapatkan pancaran cahaya dari Tuhannya. Tuhannya lah yang menunjukkan jalan, teori, atau metode praktis yang mampu mengantarkannya pada pengenalan terhadap segala masalah dengan cara dan teorinya masing masing. Maka apabila pengalaman yang dapat mengantarkannya kepada pengetahuan, berarti pengalaman itulah sebagai cara dan teori. Bila akal pikiran yang dapat mengantarkan¬nya pada pengetahuan, maka jalan menuju hal tersebut adalah akal¬ pikiran, dan apabila penjelasan Allah yang dapat menyampaikannya pada pengetahuan itu, maka penjelasan itu adalah jalan dan teorinya.
Tak lupa saya katakan di sini bahwa masalah masalah akidah tidak dapat dipisahkan dari masalah masalah kehakikatan (at tahaqquq), at¬-tadzawwuq (upaya merasakan rasa ruhaniah), dan as suluk (berjalan menuju Allah). Pembahasan tentang sernua ini secara spesifik tidak bisa tidak harus disempurnakan pada pembahasan lain. Oleh sebab itu, pembicaraan tentang hati, ruh, dan jiwa terbagi antara buku buku akidah dan buku buku tasawuf. Hanya saja tasawuf dapat mengenai sasarannya sedangkan ilmu akidah (teologi) sangatlah njelimet, sehingga seorang Muslim biasa (awam) sulit memahami persoalan persoalan yang dibahasnya. Akibatnya, banyak pengertian yang terlewatkan dari seorang Muslim.
Kami di sini secara gamblang dan global akan mendeskripsikan pengertian jiwa (nafs), ruh, hati, dan akal pikiran. Kami mulai dengan menukil pendapat Hujjatul Islam Al Ghazali dalam karyanya, Ihya' Uumiddin pada judul "Penjelasan Makna jiwa, Ruh, Hati, dan Akal Pikiran".
Perlu diketahui bahwa empat istilah tersebut digunakan dalarn bab ini jarang sekali ulama ulama terkemuka yang mengetahui secara mendalam tentang pengertian nama nama itu, tentang makna maknanya, batasan batasannya, dan tentang simbol simbol (istilah istilahnya). Kebanyakan makna dari nama nama ini telah teracuni oleh pelbagai kekeliruan karena kebodohan, juga telah terkaburkan oleh istilah istilah yang bermacam macam. Kami akan menerangkan makna nama nama tersebut sesuai dengan maksud kami.
ISTILAH PERTAMA: HATI
Nama ini dikenakan pada dua hal: Pertama, segumpal daging sanubari yang terletak di sebelah kiri dada. Ia adalah daging yang istimewa, di dalamnya terdapat rongga yang berisikan darah, itulah surnber dan pusat dari ruh. Kami tidak bermaksud menerangkan bentuk dan tata kerjanya, sebab hal itu berkaitan dengan tujuan dan profesi (kerja) para dokter dan tidak berkaitan dengan tujuan-¬tujuan keagamaan. Hati dalam bentuk seperti ini terdapat juga dalam (tubuh) binatang.
Hati yang kami maksudkan dalam buku ini bukanlah hati dalam pengertian itu. Sebab, ia adalah sepotong daging yang tidak berkadar. Ia berasal dari Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak, karena hal itu dapat diketahui oleh binatang dengan indera penglihatannya sebagai kelebihan dari manusia.
Makna kedua, rasa ruhaniah yang halus yang berkaitan dengan hati jasmani (bendawi), dan perasaan halus itu adalah hakikat dari manusia. Ialah yang tahu, mengerti, dan paham. Ialah yang mendapat perintah, yang dicela, diberi sanksi dan yang mendapat tuntutan. la memiliki hubungan dengan hati jasmani (bendawi). Akal manusia bingung untuk mengetahui letak hubungan dan pertaliannya, padahal pertaliannya (hubungan antara hati ruhaniah dengan hati jasmani) sama dengan hubungan antara watak dengan jasad, antara sifat dan yang disifati, antara pemakai alat dengan alat itu sendiri, antara sesuatu yang menempati tempat dengan tempat itu sendiri.
Kami menjelaskan hal tersebut karena kanmi bersikap sangat hati-hati pada dua makna: Pertama, bahwasanya hal itu berhubungan dengan ilmu mukasyafah, dan tujuan kanmi dengan buku ini bukanlah ilmu mukasyafah ini tapi ilmu ilmu mu'amalah. Kedua, perwujudannya mernbutuhkan tersingkapnya rahasia ruh. Masalah ini merupakan salah satu hal yang tidak pernah dibicarakan atau diterangkan oleh Rasulullah, maka orang lain tak sepantasnya membicarakannya. Sebutan kata 'hati' dalam buku ini kami maksudkan pada perasaan halus (lathifah), sasarannya hanya untuk menyebutkan sifat sifat dan keadaannya, bukan hakikatnya, sebab ilmu mu'amalah butuh pada pengenalan sifat dan keadaan hati, bukan pada hakikat hati.
ISTILAH KEDUA: RUH
Ini juga dinisbahkan pada satu jenis dengan dua makna: Pertama, jisim atau jasad halus yang bersumber dari rongga hati jasmani. la tersebar ke seluruh bagian tubuh dengan perantara urat nadi, dan juga tersebar ke aliran aliran darah dalam tubuh, serta ke aliran sumber hidup, sumber rasa (instink), sumber penglihatan, sumber pendengaran, dan sumber penciuman menuju organnya masing masing. la sama dengan aliran cahaya pelita (lampu) yang menerangi setiap sisi rumah, maka tidak ada bagian rumah itu yang tidak memperoleh penerangan.
Hidup sama dengan cahaya yang liputannya menyebar luas, ruh sama dengan pelita, aliran, dan gerakan ruh dalam batin sama dengan aliran atau gerakan (perambatan) cahaya pelita yang terdapat di setiap sisi rumah dengan bahan pembakarnya yang terbakar.
Jika menurut para dokter ruh adalah uap yang sangat halus yang bisa mematangkan panasnya hati, maka penjelasan semacam ini bukanlah tujuan dan garapan kami. Sebab masalah ini berhubungan dengan profesi dokter dalam menyembuhkan tubuh (yang sakit). Sedangkan tujuan dan bidang garapan dokter dokter agama adalah menyembuhkan hati (yang sakit) sehingga secara teratur dia dekat dan bertetangga dengan Tuhan sekalian alam. Jadi, maksud kami bukan menjelasan makna atau hakikat ruh itu sendiri.
Kedua, perasaan halus (lathifah) manusia yang tahu dan mengerti. Inilah maksud Allah dengan firman Nya: Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku (QS Al Isra': 85).
Ruh merupakan perkara dan urusan yang luar biasa, kebanyakan akal dan pemahaman manusia tidak mampu menangkap hakikatnya.
ISTILAH KETIGA: NAFSU
Nafsu memiliki banyak makna juga, sedangkan yang ada kaitannya dengan tujuan kami adalah dua makna: Pertama, maksudnya adalah cakupan makna dari kekuatan amarah dan syahwat (nafsu birahi) dalam diri manusia, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. Pengertian ini yang sering digunakan oleh ahli tasawuf, karena maksud an nafs menurut mereka adalah dasar cakupan sifat-¬sifat tercela dari manusia. Mereka berkata, "Tidak boleh tidak, harus melakukan perang melawan hawa nafsu dan membinasakannya," di mana hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah: Musuhmu yang paling besar adalah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu (HR Baihaqi).
Makna kedua, perasaan halus (lathifah) yang telah kami jelaskan sebelum ini. la adalah hakikat manusia. la adalah jiwa manusia dan hakikatnya. Akan tetapi, nafs itu bisa berwujud multidimensi tergantung pada keadaannya. Bila ada di bawah 'perintah', sehingga keresahan meninggalkannya karena bertentangan dengan syahwat, maka itu disebut an nafsul muthma'innah (jiwa yang tenteram). Mengenal hal ini Allah berfirman: Hai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai Nya (QS Al Fajr: 27 28).
Nafs dengan pengertian yang pertama tidak kembali kepada Allah, karena ia jauh dari Allah, dan termasuk golongan setan.
Bila ketenangan nafs itu belum sempurna, namun tetap menyerang dan membuka front dengan hawa nafsu, maka nafs yang demikian disebut an nafsul¬lawwamah (jiwa yang menyesali dirinya sendiri). Karena nafs itu mencerca pemiliknya ketika dia melalaikan pengabdian (ibadah) kepada Tuhannya: Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) QS Al-¬Qiyamah: 2).
Namun bila nafs menjauhi pertentangan., tunduk, dan taat kepada kehendak hawa nafsu dan godaan godaan setan, nafs seperti itu dinamai an nafsul¬ammarah bis su' (nafsu yang menyerah pada kejahatan). Allah Swt. berfirman menceritakan tentang istri Al Aziz: Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan (QS Yusuf: 53).
Jadi an nafsul ammarah bis su' itu adalah an nafs dalam pengertian pertama. An nafs dalam pengertian ini sangat dan betul betul tercela, sedangkan an nafs dengan pengertian kedua adalah an nafs yang terpuji, karena itu adalah jiwa manusia atau hakikat dirinya yang mengetahui akan Allah dan semua pengetahuan.
ISTILAH KEEMPAT: AKAL
Ini memiliki makna yang bermacam macam juga, dan telah kami terangkan dalam bab al-ilm. Ada dua makna dari makna makna tersebut yang berkaitan dengan maksud kami. Pertama, kadang kadang dimaksudkan pada ilmu tentang hakikat segala sesuatu, dan ini adalah sifat dari ilmu yang bertempat dalam hati. Kedua, adakalanya dimaksudkan pada ilmu yang mengetahui semua ilmu. Ini adalah hati, yaitu perasaan halus (lathifah), yang telah dijelaskan sebelum ini.
Kita tahu bahwa setiap orang yang berilmu memiliki'sebuah wujud dalam dirinya yang ada dan tegak dengan sendirinya. Ilmu adalah sifat yang menempati sebuah wujud tersebut, dan merupakan sifat yang tidak tersifati. Sedangkan akal adalah sifat orang yang berilmu, adakalanya juga dimaksudkan sebagai tempat (terhimpunnya) pengetahuan.
Sampai di sini jelas sudah pengertian istilah istilah di atas: hati jasmani (bendawi), ruh jasmani, nafsu syahwat, dan ilmu pengetahuan. Empat makna itu dinisbahkan pada empat istilah tersebut di atas. Sedangkan makna yang kelima, adalah perasaan halus (Lathifah) manusiayang tahu dan mengerti. Keempat istilah itu bersumber dari lathifah. Jadi ada lima makna untuk empat istilah, dan setiap istilah dinisbatkan pada dua makna.
Sebagian besar ulama terjerat dalam kerancuan perbedaan tentang istilah istilah itu. Maka dapat Anda saksikan, mereka berbicara tentang firasat (intuisi), lalu berkata: "Ini adalah firasat akal, ini firasat ruh, ini firasat hati, dan ini adalah bisikan nafsu." Padahal mereka tidak mengetahui ragam rnakna dari nama atau istilah istilah itu. Itulah sebabnya, untuk membuka tirai ini, kami kemukakan penjelasan dari istilah istilah tersebut.
Maksud dari kata 'hati' dalarn Al Quran dan As Sunnah, adalah hati yang paham dan mengetahui hakikat segala sesuatu; kadangkala dikiaskan pada hati yang terdapat dalam dada, karena hati dalam pengertian pertama, lathifah dan hati jasmani terjalin hubungan khusus. Maka, meskipun ia berhubungan erat dengan seluruh badan dan dimanfaatkan olehnya, namun ia tetap tergantung dengan perantara hati jasmani. Jadi yang pertama sekali, lathifah berhubungan erat dengan hati jasmani, sebagaimana hati jasmani itu merupakan tempat, kerajaan, dan alamnya.
Dengan demikian, dari uraian Al Ghazali di atas, kita dapat mengetahui bahwa nafs, akal, hati, dan ruh bisa saja bermakna satu. Sebab nama nama itu berubah ubah disebabkan oleh perubahan ruh manusia yang bermacam macam. Apabila nafsu syahwat dapat mengalahkan ruh, maka dinamakanlah ia sebagai hawa nafsu. jika ruh dapat mengalahkan syahwat, itu disebut akal. Jika penyebabnya adalah rasa keimanan, dinamakanlah ia hati; dan bila ia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya dan melakukan pengabdian yang tulus ikhlas, maka disebutlah ia ruh. Sebagaimana istilah istilah tersebut digunakan juga untuk beberapa hal yang belum disebutkan.
Kadang kadang kata nafs dimaksudkan darah dan pada nyawa (hidup). Kata akal kadang kadang dimaksudkan pada tempat berpikir, yaitu otak, dan juga dimaksudkan pada kecerdasan dan pengertian dari pengatur badan; semua itu berhubungan dengan otak. Begitu juga ruh dimaksudkan pada 'hidup' itu sendiri. Lalu apa itu hidup?
Jawaban manusia bermacam macam; sehingga banyak kekeliruan dan kerancuan yang terjadi dalam masalah ini. Suatu contoh, seorang non Muslim memahami dan menafsirkan suatu. nash tentang masalah ini dengan maksud dan makna yang berbeda, sehingga hal ini berakibat pada kerancuan dan kekaburan.
Sebagian Muslim kita dapati terpengaruh sepenuhnya oleh salah satu pendapat. Sehingga mereka menyamaratakan makna makna ini dalarn setiap keadaan. Misalnya, perjalanan hidup manusia dimulai sejak terciptanya sperma. Setiap sperma memiliki kehidupan khusus. Kalau sperma belum bersatu dengan sel telur, maka kehidupannya terikat pada kehidupan jasad sang ibu sampai mencapai kira kira satu bulan, baru ruh masuk. Jadi, hidup itu hampa (al¬hayatul khalawiyah) sebelum masuknya ruh. Lalu datanglah seorang non-¬Muslim mencampur aduk dan mengaburkan antara ruh dengan kehidupan yang sadar, dan berupaya menanarnkan kerancuan. Seperti yang dilakukan ketika memahami firman Allah: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu (QS Al Baqarah: 28).
Nash ini menurut mereka mengisyaratkan bahwa sperma itu mati. Padahal maksud dari ayat tersebut adalah keadaan unsur unsur sperma sebelum penciptaannya. Unsur unsurnya tak lain adalah sel sel mati yang terdapat dalam makanan (atau yang menjadi makanan), dari sinilah timbul sperma. Maka dimulailah perjalanan hidup manusia. Jadi, kehidupan hampa (al hayatul al k¬halawiyah) adalah satu hal, dan datangnya ruh setelah itu adalah hal lain. Antara keduanya tidak bertentangan, justru saling menyernpurnakan.
Sekarang perhatikan keadaan 'gila' dan keadaan yang menurut kaurn sufi ¬'mabuk rindu' (al jadzbu). 'Gila' merupakan sifat (keadaan) yang kadang¬-kadang berkaitan dengan otak, sedangkan 'mabuk rindu' berkaitan dengan hati. Otak merupakan sarana yang oleh manusia dinamai akal, dan hati adalah sarana yang oleh manusia disebut akal jadi akal yang sebenarnya, pada satu sisi berkait erat dengan otak, dan pada sisi lain berkait erat dengan hati.
Maksud hati yang sebenarnya di sini adalah hati yang digunakan oleh manusia untuk mengendalikan perbuatan perbuatannya sesuai dengan ajaran-¬ajaran Allah.
Kemudian perhatikan ragam obat yang dapat menenangkan saraf. Kita dapatkan bila orang meminumnya, ia akan tenang. Dan perhatikan pula ragam obat yang menjadikan seseorang dalam situasi marah yang sangat. Begitulah kita dapatkan apa yang dimasukkan ke dalam darah dapat mempengaruhi keadaan manusia secara keseluruhan, dan oleh sebab itu¬mungkin darah pada beberapa keadaan merupakan an nafs.
Kata an nafs dinisbahkan pada jiwa secara keseluruhan, dan adakalanya juga dinisbatkan pada tindakan tindakan nafsu syahwat dan keakuan (at taashshub atau fanatisme) manusia. Banyak orang yang keliru memahami masalah ini. Mereka. menamai sesuatu yang bukan namanya, sehingga banyak aspek yang beranekaragam,
Kami di sini tidak bermaksud menerangkan duduk perkara ini secara rinci. Yang kami lakukan tak lebih untuk menjelaskan beberapa hal pokok yang teracuni oleh kerancuan dan kekeliruan. Sampai di sini kami rasa sudah ada semacam kejelasan. Oleh sebab itu pembicaraan tentang topik ini kami batasi pada beberapa hal berikut:
Kalau di situ terclapat kehidupan jasad sebelurn masuknya ruh; kalau ada jiwa manusia yang merupakan pengaruh dari faktor faktor psikologis dan lingkungan setelah adanya ruh dalam jasad; kalau terdapat otak manusia yang mengatur seluruh struktur jasad dan ruh memiliki kaitan dengannya; dan kalau manusia memiliki hati bendawi, yang mana ruh tergantung juga kepadanya, sehingga janin dalam perut seorang ibu sebelum masuknya ruh menggantungkan hidupnya pada kehidupan sang ibu. Akan tetapi setelah ruh masuk ke dalam janin itu, maka janin memiliki 'kehidupan' tersendiri yang bebas sebebas-¬bebasnya.
Oleh sebab itu pada saat ruh ini dicabut dari manusia, maka manusia tersebut akan mati. Dengan demikian, kita mengetahui perbeclaan antara kehidupan janin tanpa ruh (ketika berada dalarn perut sang ibu sebelum masuknya ruh), dan matinya pada saat ruh telah dicabut.
Apabila ruh telah bersemayam dalam jasad ia terpengaruh oleh faktor faktor psikis dan fisik yang beraneka ragam. Faktor faktor hawa nafsu dan amarah juga mempengaruhi ruh. Mungkin saja ia menang atas hawa nafsu dengan menempuh suluk (perjalanan menuju Allah) secara terus menerus, atau dia kalah pada hawa nafsu. Di sini terjadi pergulatan dan peperangan antara hidayah para nabi yang berupaya menjadikan ruh tetap sebagaimana aslinya yang sempurna, dan penyesatan para setan dalam bentuk manusia dan jin yang berupaya untuk menjadikan ruh taat dan tunduk kepada hawa nafsu.
Para ahli fiqih menyebut darah dengan nafsun. Misalnya, mereka berkata, "Apabila binatang yang tidak memiliki nafsun (darah) yang mengalir jatuh ke dalam air . . ." Maksud mereka dengan kata nafsun adalah darah. Penulis kitab Al Muntaqhi memberi judul pada salah satu babnya: "Bab tentang Apa yang Tidak Memiliki Nafsun (Darah) yang Mengalir: Tidak Najis karena Mati."
Jadi, darah berikut sernua unsurnya memiliki pengaruh dan ikatan atau keterkaitan yang sangat besar dengan ruh. Dalam sebuah hadis dha'if disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: Amarah merupakan bara api dalam hati manusia.
Seluruh unsur yang ada dalam darah berkaitan erat dengan masalah nafsu syahwat dan amarah. Dengan begitu, maka struktur tubuh berpengaruh pada ruh. Pengaruh itu bisa kuat, bisa juga lemah; sedangkan manusia bisa saja menyerah kepada pengaruh itu: meluruskannya atau berusaha untuk menyeimbangkannya. Yang jelas, di situ ada kaitan erat antara tubuh, struktur, dan kecenderungannya. Para Rasul menunjukkan kepada kita batasan-¬batasan aturan kerja (interaksi) antara tubuh atau jasad dengan ruh, atau antara nafsu syahwat dan ruh.
Kerancuan terjadi juga pada sekitar masalah taklid, masalah ijtihad, masalah yang harus diketahui secara pasti oleh setiap orang, dan masalah yang boleh saja tidak diketahuinya. Juga sekitar masalah yang boleh dilakukan dengan jalan taklid dan yang tidak boleh dengan jalan tersebut, serta apa yang harus dia tolak dengan spontan karena bertentangan dengan prisip prinsip ajaran agama.
Uraian dan pernbahasan yang rinci serta mendalam tentang persoalan persoalan tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan di sini sekarang. Untuk itu berikut ini kami kemukakan beberapa hal penting sekitar masalah tersebut:

1. Para ulama membedakan antara taklid akidah (ushulusy syari'ah) taklid fiqih (furu'usy syari'ah), taklid dalam hal yang sudah jelas dan merupakan aksioma, serta taklid dalam mutasyabihat (hal yang samar).
Jarang sekali orang yang mendudukkan persoalan persoalan ini pada tempat yang sebenarya, begitu pula orang yang tahu akan batasan-batasan masalahnya. Ketidaktahuan akan masalah masalah ini justru terjadi juga pada mereka yang terjun langsung dalam bidang ilmu pengetahuan dan dalam bidang pendidikan pengajaran, sehingga malapetaka meluas dan merajalela. Di samping itu, persoalan persoalan ini belum jelas duduk masalahnya bagi banyak orang.
Pada dasarnya, taklid dalam akidah tidak benar dan tidak diper¬bolehkan, begitu pula taklid dalarn setiap hal yang prinsip yang harus diketahui mengenai agama. Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang batas batas ketidak-bolehan dalam masalah ini: apakah pelanggarannya sampai pada tingkat kekufuran atau kefasikan?
Menurut para ulama, taklid yang dilakukan oleh seorang Muslim awam dalam masalah masalah furu'iyah (misalnya fiqih) yang tidak mungkin baginya untuk mengetahui sendiri secara langsung tentang hukum hukum Allah dalam masalah tersebut adalah boleh. Dalam hal ini mereka meniru orang yang tahu pasti tentang masalah furu'iyah yang tidak diketahuinya. Mereka yang ditiru itu adalah pemimpin-pemimpin yang mujtahid (pelaku ijtihad). Namun demikian, batasan-batasan pengertian masalah ini sangat luas. Maka, masalah akidah apa sajakah yang harus diketahui oleh setiap Muslim? Dan apa sajakah masalah masalah furu'iyah yang boleh tidak diketahui oleh seorang Muslim sehingga ia bisa bertaklid dalam hal itu? Banyak sekali kedangkalan pemahaman terjadi sekitar masalah ini.
Tahu akan Allah, cara untuk mengetahui dan mengenal Rasulullah saw., tahu akan dalil dalil (naqli/aqli) yang menunjukkan adanya Allah berikut sifat sifat Nya, dan tahu akan dalil dalil yang membuktikan bahwa Muhammad adalah Rasul utusan Allah, semua itu termasuk dasar dasar ajaran (syariat) Islam. Dasar dasar syariat itu adalah: Al-Quran, As Sunnah, ijma' dan qiyas yang disepakati dan berdasar atas Al Quran, As Sunnah, dan ijma' tersebut; ini juga termasuk dasar dasar ajaran (ushul). Masalah masalah yang jelas dan mutawatir baik lafaz maupun maknanya yang terdapat dalam Al-¬Quran, Sunnah, dan ijma', termasuk juga dalam lingkup dasar dasar ajaran.
Seluruh kandungan Al Quran mutawatir secara lafaz, dan sebagian besar nash nash As Sunnah mutawatir secara lafaz dan makna. Semua hal yang lahir dari proses tersebut, asal jelas maknanya dan berdalil qath'i, maka ini termasuk dalam pengertian 'masalah masalah keagamaan yang harus diketahui. Seorang Muslim tidak dibenarkan untuk tidak mengetahuinya, dan taklid dalam masalah ini merupakan hal yang seharusnya tidak terjadi.
2. Hanya saja di situ ada perbedaan antara taklid dalam beberapa ragam masalah akidah dan taklid dalam ragam masalah akidah lainnya. Begitupun taklid dalam sebagian dasar dasar ajaran (ushul) dan taklid dalam beberapa ragam masalah furu'iyah. Di situ juga ada masalah masalah yang dalam pelaksanannya harus bertaklid pada Allah dan RasulNya, maka hukumnya adalah wajib taklid. Juga terdapat masalah masalah yang disebut al-¬qana'ah al aqliyah (rasa puas rasional), yang hukumnya juga wajib. Bagi orang awam bertaklid kepada para peimpin dalam masalah masalah cabang (furu') adalah wajib, dengan cara apabila memungkinkan dan mampu mengetahui dalil dalilnya. Ini juga termasuk masalah yang kabur dan samar dalam persoalan yang kita bicarakan.
3. Dasar dasar ajaran (ushul) dan aksioma aksioma keagamaan, misalnya, adalah tahu akan Allah, tahu akan perjalanan ruhani menuju Allah (suluk), tahu akan pentingnya mengikuti tuntutan Al Quran dan As Sunnah, dan mengetahui kewajiban, perintah dan larangan. Juga termasuk dalam hal ini adalah mengetahui sunnah sunnah Nabi yang mutawatir. Masih banyak hal yang termasuk dalam lingkup ini, misalnya, tahu akan kewajiban menyucikan jiwa dan masalah keimanan secara akal serta keimanan secara ruhani; pemahaman dan wawasan keislaman yang universal integral; kewajiban berjihad untuk menegakkan agama Allah; kewajiban mengikuti hukurn yang diturunkan Allah; kewajiban untuk mengetahui bahwa umat Islam adalah umat yang satu dan integral; kewajiban untuk menegakkan kesatuan sistem politik, dan lain lain.
4. Masalah yang boleh dilakukan dengan bertaklid hanya kepada pembuat syariat (Allah dan Rasul Nya), dan masalah masalah yang harus dicapai oleh manusia dengan kepuasan rasional. Dalam hal ini mengetahui secara kuantitatif tidaklah menjadi persyaratan, begitu pula penjelasan secara rinci dan gamblang. Selayaknya seorang Muslim mengetahui beberapa dalil atau bukti secara global tentang hal tersebut.
Setelah Anda mengetahui batasan batasan taklid, Anda pasti mengetahui letak kekeruhan dan kerancuan dalam persoalan ini. Anda mengetahui seseorang yang melakukan taklid dalarn hal yang seharusnya tidak dilakukan dengan cara itu. Anda juga mengetahui seseorang yang keluar dan menjauhi taklid, padahal dalarn hal tersebut ia boleh bertaklid. Di samping itu, Anda mengetahui orang yang mengulangi kesalahan kesalahan orang lain. Semua hal tersebut haruslah dibersihkan dari diri setiap Muslim.
Begitulah kita mengetahui kerancuan kerancuan pernahaman tentang Islam, baik itu kerancuan sekitar pengertian tentang iman, kerancuan sekitar masalah maqamat (tingkatan tingkatan) perjalanan menuju Allah, kerancuan sekitar masalah taklif, walaupun kerancuan pemahaman tentang pengertian jiwa, akal, hati, dan ruh. Semua dampak negatif dari masalah tersebut berbalik pada diri Muslim sendiri. Dan apabila kita analisis faktor penyebab dari kerancuan-¬kerancuan yang telah kita sebutkan tadi, ternyata terletak dan kembali pada sirnanya pengetahuan yang mendalam dan benar, khususnya di kalangan para ulama, yang mana mereka merupakan sumber dari pernahaman, wawasan, dan merupakan suri teladan dan rujukan bagi umat.
Pandangan universal tentang Islam, kadangkala kita dapatkan mulai sirna; pernahaman yang benar dan mendalam tentang Al Quran dan Sunnah kita dapatkan sangat terbatas; wawasan tentang metode penarikan (istinbat) hukum hukum syariat dari Al Quran dan As Sunnah kita dapatkan melemah; disiplin disiplin ilmu yang bersumber dari AlQuran dan As Sunnah seperti fiqih, tauhid, tasawuf dan lain lain kita dapatkan pembahasan¬-pembahasannya yang sangat dangkal, lemah, tidak menyeluruh atau bahkan mengandung kesalahan kesalahan. Apa yang seharusnya, dari sisi lain, penting dan mendesak untuk menyempurnakan peradaban Islam yang lengkap, kita. dapatkan mulai punah dan menghilang; sementara teladan yang baik dan sesuai zaman untuk memenuhi semua keterdesakan mulai terbatas.
Karena beberapa alasan seperti di atas, maka saya menulis buku Jundullah Tsaqafatan wa Akhlaqan, Julat fil Fiqhainil Kabir wal Akbar wa Ushulihima, dan serial buku ini, karena tasawuf berikut persoalan-¬persoalannya merupakan sebab terpenting yang melahirkan rentetan rentetan kerancuan sampai ke berbagai daerah.
Sebelurn mulai pembicaraan tentang masalah ini, saya ingin meminta maaf kepada para ulama dan para syaikh yang, tekun, sebab barangkali saya melakukan kritikan kritikan dangkal. Semua itu tidak saya maksudkan untuk menyinggung seorang pun dari mereka. Akan tetapi saya ingin mengobarkan semangat dan cita cita kami, tujuan ikhwan ikhwan kami, para pencinta ilmu, agar kamii semua mencapai kesempurnaan, yang merupakan suatu keharusan.
Hal ini sengaja saya jelaskan agar pembahasan ini tidak terlewatkan oleh hati siapapun dibandingkan dengan sejumlah kebutuhan lain seseorang. Buku ini tak lebih dari usaha meluruskan beberapa hal dari satu segi, dan ini pun sebagai pemakluman bahwa buku ini merupakan satu bagian dari banyak aspek



Sb: Jalan Ruhani
Said Hawwa

Post a Comment

"Setelah dibaca tunjukkan kunjungannya dengan meninggalkan jejak dikolom komentar karena postingannya sopan maka diharap komentarnya juga yang sopan mohon tidak menulis komentar spam dan OOT disini"

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes