Tuesday, July 24, 2012

Ibu, Tolong Jangan Doakan Aku Lagi


Oleh : M. Ridwan Poernomo


Masih kuingat bagaimana dia tepekur didepanku siang tadi. Matanya tak lagi berisi. Hampa dan kosong memandang ubin dibawah telapak kaki kami. Apakah yang sebenarnya terjadi? Aku tiba-tiba begitu ingin tahu. Karena selama puluhan tahun aku mengenalnya, baru kali ini aku melihatnya dalam keadaan begini. Lelah dan letih. Hitam dan kotor. 

“Kemanakah dia yang kemarin?” batinku. Aku begitu ingin tahu. Kemanakah dia yang kemarin berjalan dengan pongahnya? Dia yang berjalan hanya dengan mereka yang dia mau? Dia yang menunjuk barang kepada pembantunya dengan tangan kirinya. Aku serasa kehilangan dia yang aku kenal selama ini.

“Mengapa semua jadi begini?” tanyaku padanya seraya mengumpulkan keberanian diri untuk menerima berita yang paling mengejutkan. Tapi dia hanya memandangku dengan senyuman yang lembut. 

“Kenapa?” tanyanya. Aku menghela nafas panjang. Dari mana aku akan mulai pembicaraan ini? Lidahku seakan kelu untuk berkata.

“Apa kamu melihat perubahan pada penampilanku?” tanyanya lagi seraya tersenyum. Masih selembut yang tadi. Tapi kali ini jelas, ada kegetiran mendalam dalam senyuman dan tatapan matanya. “Di dunia ini semua bisa berubah kawan. Termasuk juga aku. Gak ada yang kekal.”

Aku turut memberinya senyum. Senyum kecut tanpa tahu harus bertanya apa. 

“Kemarin yang diatas, mungkin besok atau lusa bisa saja ada di bawah. Kemarin yang dibawah, hari ini mungkin saja dia bisa ada di atas. Semua serba bisa,” sambungnya kemudian. Setengah lirih. “Kalau Tuhan sudah berkehendak. Apa yang tidak mungkin? Seperti ini nih.” Dimajukannya telapak tangannya di depan kami, lalu dengan gerakan yang lamat-lamat, di balikkannya telapak tangan itu. Yang tadinya ada di atas, sekarang dia taruh di bawah. “Mudah sekali…!” lanjutnya, kemudian tersenyum semakin lebar, dibumbui dengan kegetiran yang kian terasa.

Ya begitulah. Tapi rasanya aku belum bisa mencerna alasan apa yang bisa mengubah keadaannya begitu drastis. Bagaimana proses keadaan hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Semua masih sebuah tanda tanya besar bagiku. Sebuah black hole yang menganga di ruang pikirku.

Dulu dia adalah seorang general manager di sebuah BUMN di kota ini. Hidupnya bergelimang harta, di temani istrinya yang cantik dan tiga anaknya yang tumbuh dengan baik. Seingatku pula, dia bukan orang yang pelit. Begitu banyak berderma. Ah … sebuah kehidupan yang sempurna. Yang karenanya, dulu aku sempat iri.

Lalu dosa apa yang diperbuatnya sehingga Tuhan murka dan kehidupannya tak karuan seperti sekarang? Itu yang ingin aku tahu.

“Anak-anak bagaimana?” tanyaku kemudian. Mungkin memang sebuah pengalihan. Aku sama sekali tidak bisa bertanya langsung kenapa dia jadi seperti ini. Jadi, memutar pembicaraan seperti ini mungkin adalah cara terbaik.

“Mereka baik, alhamdulillah …”

“Sukurlah. Sudah lulus semua?”

“Alhamdulillah sudah, yang pertama sudah menikah. Sekarang di Situbondo, sama suaminya.” 

“O ya?” 

“Ya, alhamdullillah, yang kedua dan yang ketiga sekarang sudah punya calon masing-masing.”

“Wah wah wah …., yang pertama boleh undangannya lewat, tapi yang kedua sama yang ketiga masa aku mau dilewatkan lagi … “ kataku sambil berkelakar. Dia tertawa kecil. Gurat gurat kegetiran yang tadi tergambar jelas di wajahnya, sekarang perlahan sirna.

“Insyallah, insyallah …. Sekarang kamu tinggal di mana?” tanyanya kemudian.

“Masih tetap di rumah yang lama. Masa lupa?”

“Ah gak lah, istri gimana? Sehat?”

“Alhamdulillah sehat, sibuk ngurusin anak anak sekarang.”

“Alhamdulillah. Masih sekolah anak-anak?”

“Tinggal yang terakhir, masih kelas dua SMA. Kakak-kakaknya sudah kerja semua.”

“Sudah nikah juga?”

“Belum, cowok semua anakku, jadi biar mapan dulu baru mikir jodohnya.”

“Ya benar.” 

“O ya, adikmu itu, sapa namanya?”

“Hanif?”

“Ya, Hanif, bagaimana kabarnya sekarang?”

Seraut kegetiran kembali memayungi wajahnya. Matanya sekarang seakan meredup kembali. Hatiku berdesir, ada apa? 

“Sekarang dia luntang-lantung, gak karuan.” Kalimatnya berhenti di sana. Ada jeda beberapa detik yang membiarkan kesunyian menggantung di udara. Satu tanda tanya lain muncul di benakku. Bukankah dulu Hanif adalah seorang polisi yang gemilang? “Dia di keluarkan dari kesatuannya,” lanjutnya kemudian. Hatiku berdesir semakin kencang. Mengapa? Batinku.

“Ah …, entahlah.” Selorohnya seraya beringsut kebelakang. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang didudukinya. Seolah sebuah beban yang teramat berat baru saja di limpahkan diatas pundaknya. “Adik-adikku hari tuanya sengsara. Termasuk aku juga.” Kembali dia berhenti.

Sekarang pandangannya menunduk, seperti orang yang begitu menyesal. “Aku berfikir, mungkin ini adalah kutukan ….”

”Kutukan?” tanyaku tak mengerti.

“Ya, aku kira ini adalah kutukan dari ibu buat kami. Dulu aku dan adik-adikku berani ngelawan sama ibu. Suka membantah. Gak nurut…, “ di sini dia berhenti lagi. Sekarang pandangannya tertuju langsung padaku. Mata itu, sekarang sebuah mata yang penuh dengan penyesalan. Redup dan seolah tidak lagi hidup. Mata itu sekarang bagaikan kosong. Hampa dengan berjuta dosa yang membayang. “Padahal ibu sayang sekali sama anak anaknya….”

Aku kembali tercekat untuk kesekian kalinya. Inikah alasan itu? Inikah sebab itu? Yang menjadikan dunianya berbalik seratus delapan puluh derajat? Kutukan?

gambar dari sini
“Ibu orang yang sabar,” lanjutnya. “Anak anaknya yang mungkin keterlaluan. Melihat ibu yang sabar begitu, bukannya kami sadar, tapi malah semakin menjadi.” Sekarang dia beringsut lagi. Mendekat kearah meja. Digenggamnya gelas berisi es teh di atas meja kuat kuat. “Kami semakin sibuk dengan dunia kami sendiri, kami melupakan ibu yang sudah semakin tua dan renta.” Pandangannya sekarang turun, beralih pada gelas yang di genggamnya itu. Tatapan yang kosong! “Kami gak sadar kalau ibu butuh kami, ibu yang kesepian, sendirian, gak ada yang ngurusi. Yah …. Kami yang salah. Bukannya mengurusi ibu, menenangkan hatinya, malah kami semakin kurang ajar saja pada beliau. Hah…., kalau ingat itu aku sungguh menyesal.” Di hembuskannya nafasnya kuat kuat. Seolah ingin membuang segala penat dan letih. Suaranya seperti mengambang diudara. Semacam orang yang sedang terkenang akan sesuatu yang ingin dicampakkannya jauh jauh tapi tak bisa. Penat. Mungkin itu yang dia rasakan.

“Sampai suatu saat, mungkin batas kesabaran ibu sudah habis, tapi kami masih belum menyadari keadaan itu. Saat itu ibu sempat berkata kalau beliau meninggal, ibu mengharamkan tangan-tangan kami menyentuh mayatnya.” Ada bening air mata yang mengambang di pulupuk matanya sekarang. Mendesak-desak hendak jatuh. Aku cuma bisa menegang. Hatiku berdegup kencang sekali. Seperti ada yang menonjoknya keras keras. Aku mendesah. Bayangan ibuku serta merta melintas jelas di kepalaku. Ibu ….

“Beberapa tahun kemudian, kalimat ibu itu terbukti. Beliau meninggal di Kalimantan, saat mengunjungi kerabatnya disana. Seperti sudah diatur Tuhan juga, kami baru mendengar kabar itu keesokan harinya. Ditambah lagi, semua tiket pesawat ke sana penuh. Saat kami datang….” Sekarang air matanya jatuh. Mengalir melewati pipinya yang menghitam. “Yang kami temui hanya kuburnya ….! Kami kakak beradik tidak bisa menyentuh jasadnya.” Dia berusaha tersenyum tegar seraya menghapus air matanya. Aku hanya bisa menatapnya, berbagi iba.

“Saat di makam ibu itulah aku kemudian sadar. Sadar kalau Tuhan sudah mendengar pinta ibuku…, dan Tuhan mengabulkannya. Padahal itu hanya sebatas kalimat yang diucapkan, bukan doa. Kalimat yang diucapkannya dengan sepenuh hati.

Pernah juga di lain waktu, ibu menyumpahi kami agar hidup kami di masa tua senggara. Katanya agar kami juga merasakan apa yang ibu rasakan saat itu. Bagaimana menderitanya dia saat gak kami perdulikan. Bagaimana sakitnya hati beliau saat kami mencibirnya, melupakannya. Yahhh…, ibu secara tak sadar sudah menyumpahi kami. Kutuknya akan kelancangan kami terucap juga akhirnya. Doa ibu terkabul. Tapi kami menganggapnya omong kosong.

Aku malah mengejeknya saat itu, tak perduli, menganggap itu cuma omong kosong seorang wanita yang sudah tua dan kesepian. Bukannya takut, kami malah mencibir. Aku menyesal …, menyesal sekali .…” Kali ini bening air matanya mengalir semakin deras di pipinya. Dia tengadah, mencoba menahan agar air matanya tidak tumpah lebih banyak lagi.

“Sekarang lihatlah kami kakak beradik ini. Aku yang paling tua dulunya adalah manager, hidup melimpah harta benda, sekarang aku sopir. Adikku yang dulu mahasiswa yang gemilang, pegawai negeri yang mapan, sekarang terlilit hutang kesana kemari. Hanif yang dulu mentereng dengan seragam polisinya, sekarang luntang-lantung gak karuan. Yang satu lagi hampir stress kebanyakan pikiran. Aku juga takut saat sekarang satu persatu anakku pergi menjauh dariku. Yang paling tua tinggal di Situbondo, jauh dari sini, yang kedua dan yang ketiga, kalau mereka berjodoh dengan calonnya yang sekarang, mungkin mereka juga akan pergi jauh dariku. Aku takut itu terjadi …. 

Ah …, andai saja waktu bisa diulang, aku ingin kembali kemasa itu. Andai saja waktu bisa diulang aku ingin bersujud di bawah kaki ibu memohon ampunannya. Sekarang ibu sudah meninggal, aku tidak bisa lagi memohon ampunannya. Aku menyesal …., aku menyesal…., entah kemana ampunan itu bisa aku cari. Andai saja waktu bisa diulang, Roy ….”

*** 

Aku pulang sudah larut sekali. Sebelum masuk kekamar, kusempatkan membuka pintu kamar ibuku. Menatap wajahnya yang teduh tidur dalam tenang. Aku berfikir keras, apa yang sudah aku lakukan yang mungkin telah membuat beliau begitu terluka? Besok saat matahari terbit, aku bertekat akan meminta ampunannya. Waktu tak bisa berjanji kapan sebuah kehidupan akan berakhir, bukan? Maka itu, secepatnya aku harus meminta ampunannya. 

Dalam hati aku berharap semoga ibu tidak pernah mendokanku akan suatu yang buruk, walau itu hanya sekedar kalimat yang diucap sambil lalu. Ibu, tolong jangan pernah doakan aku lagi kalau doamu itu adalah sebuah kutukan buatku.

Besok, aku juga akan meminta istriku untuk menjaga perkataanya. Terutama pada anak-anak kami. Jangan sampai sebagai seorang ibu, dia mengeluarkan kutukannya tanpa dia sadari, karena Tuhan maha mendengar dan maha mengabulkan segala pinta hambanya. Tuhan pula yang mampu memberi balas paling adil. Keridoan Allah pada seorang anak, tergantung pada keridoan orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Kalau orang tua murka, maka murka juga Tuhan padanya.

Jangan sampai ada penyesalan dan kata terlambat.


Diangkat dari kisah nyata, ditulis dengan gaya FiksiQ. Semoga bisa menjadi bahan pembelajaran buat semua. Terutama buat mereka yang menyandang gelar ‘IBU’


Kontributor:
Author: FiksiQ

38 comments

July 24, 2012 at 6:20 PM

mantep mas...bagus...ane suka ceritanya.... :D besok2 aku traktirin buka puasa bareng deh...wkwkkk...

July 24, 2012 at 6:37 PM

Subhanallah. Doa IBU selalu terjabah lebih dulu oleh Tuhan. Hikmah yang bisa diambil : Perhatikan dan limpahkan kasihsayang kita kepada orangtua, sebelum waktunya habis untuk menemui Tuhan dan penyesalan menggerogoti di akhir Naudzubillah :)

Anonymous
July 24, 2012 at 6:55 PM

Benar bahwa ridho Allah ada pada orang tua, begitupun sebaliknya, terutama ibu. Ia adalah manusia biasa, tapi menjadi luar biasa karena cinta kasihnya, pengorbanannya, hingga tak salah bila surga terletak dibawah telapak kakinya.
Terima kasih atas postingan yang bukan saja indah secara bahasa, tapi juga menyentuh dan menyadarkan.

July 24, 2012 at 7:26 PM

QS. Lukman ayat 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Jadi bukan orang tua yang minta utk dihormati dan disayangi, tapi Allah-lah yg memerintahkannya. Maka berbuat baik kpd org tua dilakukan atas dsr mengikuti perintah Allah sehingga ridha Allah kita dapat.

Terlalu mempercayai bahwa kesulitan kita adalah karena do'a atau perkataan org tua pada saat mereka sakit hati, hanya akan membuat kita stagnan, tdk segera bangkit dan memperbaiki diri. Sb apapun yg dikatakan seorang ibu, bukanlah suatu hal yg mutlak pasti terjadi. Allah lah semata2 Sang Maha Berkehendak.

Hormati orang tua, sayangi mereka, berkatalah lembut kepada mereka, cintai mereka karena Allah.

July 24, 2012 at 9:32 PM

kata-kata yang diucapkan adalah sebuah doa, oleh karena itu kita dianjurkan untuk selalu berkata-kata yang baik...aku jadi teringat almarhum ibuku...subhanallah sungguh kisah tragedi yang menyentak kesadaran kita semua ...nice share post :)

July 25, 2012 at 3:02 AM

do'a seorang ibu memang mustajab.....apapun yg ibu katakan bisa terjadi....

July 25, 2012 at 4:29 AM

Ucapan seorang ibu akan selalu jadi doa buat anak-anaknya. Semoga yang masih punya ibu, bisa lebih menjaga hati ibunya. Mari berdoa untuk ibu kita semua.

Anonymous
July 25, 2012 at 5:50 AM

Subhanallah..
Renungan buat para anak di seluruh dunia, agar selalu menghormati ibu.

Ridho Allah ada pada ridho orang tua, termasuk ibu.
Maka berbuat baiklah selalu pada ibu.

Setelah membaca tulisan ini, saya ingin mengatakan cinta saya pada ibu di kampung halaman.
Kangen ibu...

July 25, 2012 at 8:37 AM

masya Allah fiksinya bagus, menyentuh. Inilah bukti kebesaranNYA, dan memang terkadang anak durhaka sekarang lebih kejam daripada malin kundang dahulu kala. Walaupun sbg bukti tp belum cukup juga.

WALLAHU A'ALAM BISHOWAB

July 25, 2012 at 8:47 AM

makasih sudah di muat kang, semoga ada hikmah yang bisa diambil dari kisah nyata ini ... :)

July 25, 2012 at 9:28 AM

keren sungguh keren,,,makasih ya semoga bisa mengingatkan kita semua dengan pelajaran itu

July 25, 2012 at 9:50 AM

Sedih baca ceritanya, ada dua doa, doa orang dizolimi dan teraniaya serta doa orang tua. Jadi tak ingin menyia-nyiakan hidup untuk dunia semata tetapi perhatikan orang tua juga =))

July 25, 2012 at 10:38 AM

Subhanallah,, ceritanya bagus banget, bikin terharu.
Semoga di hari-hari berikutnya Nana bisa menjadi anak yang bermanfaat buat ibunda.. dan lebih perhatian kepada ibunda amin :"(

July 25, 2012 at 10:49 AM

melihat setetes air mata ibu jatuh, apalagi jk hal tersebut karena menguatirkan kita...selaksa rasa pedih di hati. Andai bisa, inginnya kalau ada air mata yg jatuh adalah air mata bahagia dari beliau..

Bukan bermaksud berbohong, kalau saya dan saudara memnag berusaha memininalkan hal-hal yg bisa membuat Ibu kuatir dan sedih. Tapi toh tidak semuanya bisa disembunyikan dari beliau.....believe or not, naluri seorang ibu sangat tajam. Beliau bisa merasakan jika ada anaknya yg dalam kesusahan/masalah..

July 25, 2012 at 10:52 AM

Sebuah kisah yang memang banyak sekali terjadi di masa kini... bahkan baru saja terjadi di depan mata kepala saya sendiri mas... dua keping hati yang terluka, langsung oleh perlakuan kasar yang disengaja oleh buah hati mereka...

Hati yang terluka parah, hancur berantakan itu telah mengeluarkan doa dan permohonan kepada Ilahi agar Ilahi Rabbi saja yang memberikan balasan pedih melebihi apa yang mereka rasakan kini....

Duh, ngeri rasanya membayangkan azab apa yang akan ditanggung oleh si malin kundang itu...

saya menemukan artikel pendukung dalam memfiksikan kisah yang lebih pedih dari ini mas, trims atas postingannya....

semoga kita dijauhkan dari hal2 yang seperti ini... semoga Allah memberi kita waktu dan kesempatan untuk selalu mampu menjaga dengan baik keping hati ibunda, juga ayahanda, karena bagaimanapun juga, Ibu adalah satu paket dengan ayah, bernama orang tua, yang harus selalu kita jaga lahir dan batinnya...

semoga kita menjadi anak2 yang baik bagi ayah bunda ya mas....

saleum,
Alaika

July 25, 2012 at 10:56 AM

Subhaanallaah bagus sekali ceritanya,

July 25, 2012 at 11:27 AM

subhanalloh, sebuah renungan yang sering ada dalam realita. semga saya dan kita semua selalu membahagiakan dan selalu ada untuk orangtua kita terutama ibu dan diizinkan berkumpul di syurga Alloh.. aamiin ya Rabb

July 25, 2012 at 2:04 PM

@NIT NOTJiah mending kasih ta'jil untuk puasa sebulan

July 25, 2012 at 2:06 PM

@MUHAMMAD RIDWANsama2 kang, makasih juga dah mau jadi kontributor

July 25, 2012 at 4:32 PM

pertama baca judul, heran gitu....
tetapi setelah...

Subhanallah...
Astagfirullah...
Entah harus berkata apa lagi..
semoga semua yg membaca ini bukan termasuk yg durhaka pada ortu yah... ^_^

eh, tapi kang Ridwan koq ceritanya gak dipostingin ke blog? udah kosong sejak 11 Juni tuh...

July 25, 2012 at 6:44 PM

@Rediska AmaliawatiUntuk para Ibu, agar lebih sabar dalam menghadapi kenakalan putra/i nya, karena kalimat yg dijatuhkan kepada anak2nya adalah doa

July 25, 2012 at 6:47 PM

@Abi SabilaSetuju mas Abi Sabila dan komentarnya yg indah jg sudah menambahkan isi cerita ini

Salam persahabatan dari Surabaya

July 25, 2012 at 6:51 PM

@nikenSurga dan neraka ditentukan sikap kita kepada orang tua
Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua
dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orang tua

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 6:52 PM

@BlogS of HariyantoIkut bela sungkawa Mas Haryanto, semoga ibunda tercinta sudah tenang dan nyaman di Surga-Nya

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 6:53 PM

@Urang KampoengArtinya kita harus menghormati seorang ibu ya mas..

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 6:55 PM

@titie suryaSetuju mbak Titie, orang tua adalah ladang amal semasa didunia, jaga dan hormati seorang Ibu

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 6:56 PM

@Sri Efriyanti Az-zahra Harahapberbahagialah jika masih ditunggu kedua orang tua terutama ibu, dan sangat rugi jika bersama ibu tdk mendapatkan surga-Nya..

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 6:58 PM

@Annur EL- KareemSaya percaya Adik Annur adalah putri yang selalu berbakti pada ibunda, semoga..

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 6:59 PM

@NdearSetuju sama adik Ndear, walau aku sdh tdk didampingi ibunda..

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 7:00 PM

@Reza PahleviSubhanallah pengakuan yang menyenangkan..

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 7:01 PM

@Hasana AnnasSemoga Adik Nana.., semoga Nana selalu jadi putri yang selalu berbakti pada orang tua.. amin

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 7:05 PM

@Ririe Khayandari membaca beberapa kisah dan ceritanya, saya percaya akan rasa hormatnya Ririe pada orang tuanya, dan saya menyetujui komentarnya tentang kepekaan seorang ibu

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 7:08 PM

@alaika abdullahwalau tidak tau persis cerita yng barusan dihadapi mbak Alaika, tapi saya menangkap kesedihan dari komentarnya, tapi saya percaya mbak Al adalah sosok yang sangat mengkormati satu paket yg bernama orang tua.. semoga.

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 7:09 PM

@Alfi Syahrinsaya setuju dengan pendapat mbak Alfi..

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 7:10 PM

@Rima Auliasaya mengaminkan doa terbaikmu Rima, semoga kita semua di kumpulkan di surga-nya

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 25, 2012 at 7:12 PM

@JeQ the ShadowZ Knightsemoga ya mas..

eh suatu kebanggaan mas Ridwan msh mau menyempatkan waktu untuk membagi posting untuk open house blog ini..

Terimakasih kunjungannya
Salam sahabat dari Surabaya

July 27, 2012 at 5:08 PM

Bener banget.... aku juga mengalami semacam mukjizat dari doa Ibu :)

April 17, 2013 at 5:03 PM

bagaimana kita punya ibu mertua tapi beliau hanya menyumpah yang buruk terhadap anak dan kikir terhadap orang2...sangat sedih :(
itu terjadi pada istri saya...
apa yang harus kami perbuat agar tidak durhaka

Post a Comment

"Setelah dibaca tunjukkan kunjungannya dengan meninggalkan jejak dikolom komentar karena postingannya sopan maka diharap komentarnya juga yang sopan mohon tidak menulis komentar spam dan OOT disini"

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes