Oleh: Arya Poetra
Makassar, 8 Juli 2012
Minggu. 22.20
Entah sudah berapa lama wanita itu berdiri di sana. Memandang sejenak sebuah kotak di meja, lalu menggoreskan hitam pada kertas yang bersandar di papan kecil yang selalu ditentengnya. Entah apa yang dibacanya dari kotak itu. Yang kulihat, hanyalah kotak garis grafik yang sesekali mengeluarkan bunyi bip. Kotak yang aneh pikirku..., dan ia melakukannya beberapa kali, hingga akhirnya ia memutuskan berbalik, menghadapku.
“Saya sudah memeriksa kondisi suami ibu. Alhamdulillah sudah ada kemajuan. Mungkin tak lama lagi ibu bisa membawa beliau keluar dari sini. Ibu yang sabar ya. Saya permisi” kata perawat itu, sembari melempar senyum padaku, sebelum akhirnya menutup pintu dan meninggalkan aku bersama anak dan suamiku.
Senja, sudah terlelap di kursinya saat ini. Aku memakluminya. Sudah seminggu ini ia menemaniku di sini. Seringkali aku tak enak hati padanya, karena ia harus membagi waktu dengan aktivitas kuliahnya yang kutahu saat ini telah memasuki tahap akhir . Namun, entah bagaimana ia selalu berhasil mempengaruhiku, meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja, dan aku tak perlu menghawatirkannya... Dan suamiku? Pria yang telah menemaniku selama 20 tahun ini kini terbaring lemah di ranjangnya, karena penyakit jantung yang tiba-tiba menghampirinya ..., yang juga telah membuat fisiknya dengan tanpa malu-malu memperlihatkan sedikit tonjolan tulang pipinya ...
Dan aku, masih terjaga di sini. Mencoba berkawan dengan sepi yang menusuk kalbu. Mencoba mengusir bimbang dengan lantunan ayat-ayat Allah, atau sesekali menatap- menembus beningnya jendela di hadapanku pendar bintang dibalik pekatnya malam. Masih tak percaya, akan apa yang kulihat saat ini. Karena seminggu yang lalu, aku masih sempat berbalas rindu padanya...
Makassar, 8 Juli 2012
Minggu. 20.00
“Abi, apakah sebenarnya kematian itu? Umi masih belum mampu memahaminya.”
Perlahan Qur’an yang sedang dibacanya ia tutup. Berbalik, lalu memandangiku dengan tersenyum.
“Tahukah Umi kalau kematian itu layaknya seperti sebuah pintu?”
Aku, masih tak memahami maksud perkataannya. Pintu? Kenapa juga harus sebuah pintu.
“Apa maksud Abi?”
“Ya, sebuah pintu yang dibaliknya ada Allah yang sedang menunggu kita, Umi. Pintu yang kan membuat kita selangkah tuk lebih dekat denganNYA.”
“Umi masih bingung, Abi...”
Dibelainya keningku dengan lembut, lalu lanjut ia berucap, “Masih ingatkah Umi akan kisah Abi di masa lalu saat merantau ke Makassar? Abi sempat tergiur oleh kesempatan bekerja di gudang rokok, melupakan mimpi Abi kala meninggalkan kampung halaman. Abi begitu ingin segera mendapatkan penghasilan, tuk membantu meringkankan beban orangtua Abi di kampung. Abi lupa, kalau sedang mengejar mimpi tuk menjadi seorang arsitek. Seperti itulah hidup ini. Hidup di dunia, layaknya sebuah persinggahan bagi anak manusia yang sedang merantau. Sebuah persinggahan, yang terkadang menawarkan aneka macam tawaran kesenangan tuk menghilangkan lapar dan dahaga. Dan jika si perantau terjebak akan tawaran itu, ia bisa lupa, bahwa tujuan ia sebenarnya bukan di situ..., melainkan tempat lain yang tentu harus dengan susah payah ia gapai. Abi...,Umi..., dan berjuta-juta manusia di luar sana sedang meniti jalannya masing-masing. Melangkah, dari satu titik ke titik lainnya, menuju pintu itu...”
Kututup buku 7 Keajaiban Rezeki yang sedang kugenggam. Menaruhnya, kemudian bersandar bersama suamiku di sudut Mushalla yang ia desainkan untukku. Kucoba memahami kata-kata yang baru saja terlontar darinya, sembari menatap pada hijau rerumputan dan pohon-pohon yang ada di samping mushalla itu. “Dan ketika kita telah sampai di pintu itu, akankah kita temui kesulitan tuk membukanya, Abi?”
Kembali melempar senyum tulus itu padaku, ia kemudian berkata, “Ya, tentu Umi. Kita membutuhkan kunci untuk bisa membukanya.”
“Seperti pintu rumah kita saja...”
“Begitulah, Umi. Kita semua sedang mencari kunci itu..., kunci yang terbentuk dari amalan-amalan yang telah kita lakukan hingga detik ini. Kunci yang terbentuk dari tiap detik yang kita jalani dengan baik. Kunci yang kan menentukan arah kita selanjutnya setelah menapak jejak di balik pintu itu. Tapi pertanyaannya, sudah siapkah kita? Umi sudah siap?”
“Tidak saat ini, Abi. Tidak hari ini, esok atau lusa.” Kataku seraya mencoba menahan rasa dingin yang tiba-tiba menyelimuti.
“Lalu, kapan?”
“Entah.. mungkin Umi butuh waktu yang lebih lama”
“Untuk apa Umi?”
“Yaaaahh, untuk menjadi lebih baik kan, Abi.”
“Tapi jika ternyata kita menjadi lebih buruk, bagaimana?”
Aku terdiam... Mencoba membayangkan kiranya seperti apa diriku nanti di masa depan...
“Manusia, dalam hidupnya selalu memiliki pilihan. Ada orang yang mengatakan bahwa apa yang terjadi kepada kita telah diatur olehNYA. Jadi, ketika kita dipenjara, apakah IA yang telah mengatur agar kita dipenjara? Kita bisa memilih tuk menjadi baik, atau menjadi buruk. Dan setiap pilihan yang kita pilih, tentu akan mengarahkan kita pada konsekuensi yang harus kita tanggung akan pilihan itu. Ketika kita dipenjara umpamanya, mari sejenak memutar waktu ke belakang, mungkin ada sikap kita, pilihan kita yang mengantar kita hingga ke keadaan kita saat ini... Dan Abi, memilih untuk menjadi baik. Abi ingin selalu siap, kapan pun IA meminta untuk bertemu...”
“Tapi, mungkin pernah ada kesalahan besar yang telah kita buat. Umi takut itu yang akan menghambat nantinya..”
“Itu bisa dihapus, Umi. Bukankah Allah pernah berfirman, setitik kebaikan yang kita miliki akan menjadi jaminan yang menyelamatkan kita.”
“Cuma setitik? Apakah itu cukup, Abi?” Dan detik berikutnya, ia cuma tersenyum menanggapi pertanyaanku itu. Senyuman yang kutahu bahwa ia pasti akan menjawab cukup. Ahh, jika memang begitu adanya, maka aku tak akan ragu lagi tuk memilih menjadi baik. Memilih, untuk siap kapanpun IA mengajak ku tuk bertemu.. Kupandangi wajah suamiku, dan tahukah kalian apa yang kuharapkan saat itu? Kuharap Allah senantiasa memberi ridha dan curahan kasih sayangNYA pada suamiku. Berharap, ia diberi kesempatan untuk selalu berada di sampingku, menemaniku, hingga nafasku berakhir.
Aku, masih berusaha untuk mengisi waktu dengan kebaikan. Meski hanya lewat tulisan ini, kuharap bisa berbagi kebaikan, hingga suatu saat nafasku terhenti. Semoga bisa mendatangkan manfaat. Setidaknya, mampu merontokkan sedikit demi sedikit kesalahan-kesalahan yang pernah terukir...
Koontributor
Author: Corat Coret Makna
15 comments
Buku 7 keajaiban rezeki saya dimana yak =="
Ceritanya bagus sekali kak arya. :)
Kayaknya harus tulisan yang religius ya kang baru bisa nampang di blognya kang insan ? >,<
Bismillah, nanti ya. #ngarep. hha
Subhanalloh.. ini mah seperti sang profesional yang menulis kisah ini.. seperti tanpa cela.. dan makna.. bertabur dimana-mana, subhanalloh.. dan yang terpenting, inti dari kisah ini, kematian. sejauh apa bekal yang telah kita kumpulkan, semoga "cukup" untuk memasuki pintu syurga Aamiin..
*sangat suka
Aaamiin.. semoga Abi mendapat keridhoan Allah, sungguh Umi yang sangat kuat dan siap kapanpun untuk bertemu Sang Pemilik Hidupnya..
indah dan menyentuh...
Semoga aku bisa bertemu dengan Alloh dalam keadaan membawa amal terbaikku..
Tetap semangat.
Baca tulisan ini berasa dicubit-cubit... Aahh...kunci yang aku punya apa sudah bisa membuka pintu itu...??
salah satunya ridho orang tua ya kalau dibaca dari buku itu
@Uchankya begitulah Chank, pengalaman dipesantren boleh diceritain disini kok
@Anna AQyuanSepakat sama Anna tulisan ini keren abis
@Yudhi E. PutrantoAmin... ikut mendoakan
@Liyan*Life is JourneySetuju banget
@PandiAmin..., semoga dalam keadaan qusnul khotimah ya
@nikenwah saya malah seperti di jadiin sansak...
@Lidya - Mama Cal-Vinhmm setuju mbak..
Kereeeeen ...
Post a Comment
"Setelah dibaca tunjukkan kunjungannya dengan meninggalkan jejak dikolom komentar karena postingannya sopan maka diharap komentarnya juga yang sopan mohon tidak menulis komentar spam dan OOT disini"